Minggu, 28 Maret 2010

Dilema CSR Perusahaan Rokok, Tolak atau Terima ?


Apakah CSR yang dilakukan perusahaan rokok merupakan tanggung jawab sosial yang tutus atau sekadar membangun citra sebagai perusahaan yang peduli?


Tanpa menghiraukan peluh yang membanjiri wajahnya, Widowati tampak tetap bersemangat menceritakan perkembangan UMKM binaan HM Sampoerna. Saat itu sedang berlangsung Pusat Pelatihan Kewirausahaan (PPK) Sampoerna Expo 2009 Ji Sukorejo, Pasuruan, Jawa Timur.


Sudah dua tahun terakhir Widowati bergabung dengan Divisi Community Development HM Sampoerna yang berbasis di Pasuruan. Sejak lulus dari Institut Pertanian Bogor, perempuan berambut pendek ini memang sudah malang melintang di bidang pemberdayaan masyarakat, Ia menyadari banyak juga rekannya yang berlatar belakang aktivis mengkritik pilihannya bekerja di perusahaan rokok.

"Buat saya yang terpenting yang saya kerjakan ini baik. Tidak ada bedanyaketika saya di LSM dengan sekarang di korporasi, yang penting membawa kebaikan untuk membangun masyarakat. Sebagai orang dewasa, kita kan sudah tahu dampak dari merokok. Tapi merokok itu kan pilihan," ujar Widowati.

Semua orang tahu rokok adalah barang yang merusak kesehatan. Di Indonesia, setiap tahun 200.000 orang meninggal akibat merokok. Biaya kesehatan untuk mengobati penyakit yang terkait merokok mencapai Rp2,9 triliun hingga Rpu triliun per tahun atau setara 0,12%-0,29% dari produk domestik bruto. Gerakan membangun kesadaran tentang bahaya merokok pun semakin besar dalam lima tahun terakhir ini. Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, awal tahun ini mengeluarkan fatwa yang me-labeli rokok sebagai barang haram bagiwanita hamil, anak-anak, ulama MUI, dan perokok di tempat-tempat umum.

Kampanye untuk menghapuskan iklan dan sponsor rokok kian menguat di kalangan masyarakat. Koalisi LSM Anti-Rokok, misalnya, pernah mendemo konser penyanyi Rossa karena disponsori perusahaan rokok. Koalisi ini juga terus menempuh jalur peradilan untuk melakukan judicial review terhadap Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 agar iklan rokok dilarang di seluruh media penyiaran. Salah satu tujuannya agar menghapuskan citra merokok sebagai bagian dari budaya atau sesuatu yang "wajar" untuk dilakukan.

Meski aktivitas corporate social responsibility (CSR) bukan merupakan kegiatan pemasaran ataupun kehumasan, reputasi yang baik dari perusahaan yang melakukan tanggungjawab sosial tetap merupakan konsekuensi logis. Namun bagaimana dengan CSR perusahaan rokok? Di sinilah letak dilema yang terjadi. Ketika perusahaan rokok memiliki reputasi yang baik dan terus-menerus dipertahankan, apakah masyarakat bisa semakin sadar akan bahaya merokok?

Dalam perspektif Dina Kania, Staf Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak), bagaimanapun CSR perusahaan rokok tak dapat dilepaskan dari upaya mereka membangun citra korporasi yang positif sebagai perusahaan yang peduli. "Ini strategi membeli simpati masyarakat sehingga jika ada upaya pengendalian tembakau, masyarakat dululah yang membela industri rokok,11 ujar Dina.

REPUTASI BAIK KARENA CSR Konsep CSR telah mulai dikenal sejak 1970-an. Paradigma yang mendasarinya adalah sebagai sebuah entitas bisnis per-

usahaan harus menaati semua peraturan hukum yang berlaku di sebuah negara, mulai dari aturan perburuhan hingga aturan kelestarian lingkungan. Perusahaan juga tak hanya memiliki kewajiban kepada pemegang saham. Ia juga harus memenuhi harapan para pemangku kepentingan; yakni karyawan, rekanan bisnis, pemerintah, dan masyarakat sekitar.

"CSR adalah kegiatan sukarela. Namun, perkembangan global saat ini menuntut CSR menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari. Suka atau tidak suka, ia harus dikerjakan sebagai benluk tanggungjawab kepada stakeholder," kata Ismid Hadad, Ketua Perhimpunan Filantropi Indonesia.

Sulit terbantahkan perusahaan rokok termasuk yang paling aktif dalam melaksanakan CSR di berbagai bidang dan termasuk yang memiliki hubungan yang baik dengan masyarakat. "CSR bukan aktivitas public relations. Jika aktivitas tersebut membuat perusahaan memiliki reputasi yang baik di mata masyarakat, itu semata merupakan konsekuensi logis," kata Elan Merely, ChiefOperating Officer Sampoerna Foundation. Organisasi ini adalah satu dari sedikit yang menyelenggarakan aktivitas filantropi secara profesional di Indonesia.

Besarnya animo masyarakat di Pasuruan terhadap program HM Sampoernamemang terlihat jelas. Meski jaraknya cukup jauh dari pusat kota, di tengah hari yang terik pula, ratusan warga memadati acara yang digelar pada Maret lalu itu yang sekaligus merupakan peresmian UKM Center. Pada Expo tersebut lebih dari 50 UMKM unggulan dari wilayah Pasuruan memamerkan produknya yang 18 di antaranya adalah UMKM binaan perusahaan rokok yang saat ini dimiliki Philip Morris Inc. itu.

"Penyelenggaraan kegiatan itu bertujuan mendorong pertumbuhan dan pengembangan potensi industri UMKM, sekaligus juga digunakan sebagai media sosialisasi produk-produk unggulan UMKM dari Pasuruan," kata Yos Adiguna Ginting, Corporate Affairs Director PT HM Sampoerna Tbk.

Program pemberdayaan UMKM itu hanyalah satu bagian dari payung program Sampoerna untuk Indonesia yang mencakup berbagai bidang mulai dari pendidikan, kesehatan, pemberdayaan masyarakat, pelestarian seni budaya, sampai penghargaan kaiya jurnalistik.

Perusahaan rokok lain, PT Djarum, juga aktif melakukan kegiatan CSR sejak awal berdirinya pada 1950-an. Kegiatan CSR yang dilakukan oleh Djarum fokus pada tiga hal bakti olahraga, bakti pendidikan,dan bakti lingkungan. Salah satu yang menonjol adalah sumbangan Djarum untuk menyokong dunia bulu tangkis Indonesia sejak 1969 melalui Persatuan Bulutangkis (PB) Djarum dan melahirkan beberapa bintang besar seperti Liem Swie King, Alan Budi Kusumah, dan Hastomo Arbi.

Dari segi pengelolaan, CSR yang dilakukan perusahaan rokok secara umum memenuhi kriteria pelaksanaan CSR yang tepat. Prinsip pertama adalah kesinambungan. Program yang dirancang harus memiliki dampak yang berkelanjutan, berbeda dengan donasi bencana alam yang bersifat ad hoc.

Prinsip kedua, CSR merupakan program jangka panjang. Perusahaan mesti menyadari bahwa sebuah bisnis bisa tumbuh karena dukungan atmosfer sosial daii lingkungan di sekitarnya. Karena itu, CSR yang dilakukan adalah wujud pemeliharaan relasi yang baik dengan masyarakat. Prinsip ketiga, CSR mesti berdampak positif kepada masyarakat, baik secara ekonomi, lingkungan, maupun sosial.

Irisan yang kerap terjadi antara kegiatan CSR dan public relations adalah ketika perusahaan memublikasikan program-program sosial yang mereka lakukan. Masalahnya, tindakan ini membuat banyak pihak memandang miring program CSR



Sumber:
Feby Indirani
Business Week, dalam :
http://www.depkop.go.id/component/content/article/337-dilema-csr-perusahaan-rokok-tolak-atau-terima.html
29 April 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar