Minggu, 28 Maret 2010

Negara Lemah, CSR Menguat

Milton Friedman, sang ekonom pemenang Hadiah Nobel, mencibir segala upaya yang menjadikan perusahaan sebagai alat tujuan sosial. Tujuan korporasi, menurutnya, hanyalah menghasilkan keuntungan ekonomis buat pemegang sahamnya.

Jika korporasi memberikan sebagian keuntungannya bagi masyarakat dan lingkungan, maka dia telah menyalahi kit’ah nya, begitu tambah Joel Bakan dalam bukunya, The Corporation. Apapun cara akan dipakai korporasi untuk mencari laba setinggi-tingginya. Demikian pula saat mereka melahirkan ide Corporate Social Responsibility – atau CSR, sebagai penguat citra, tujuannya tentu tak jauh-jauh, menangguk untung sebesar-besarnya. 



Dan mereka berhasil. Riset majalah SWA tahun lalu atas 45 perusahaan menunjukkan CSR bermanfaat memelihara dan meningkatkan citra perusahaan (37,38 persen), hubungan baik dengan masyarakat (16,82 persen), dan mendukung operasional perusahaan (10,28 persen).

Hasil pencitraan ini luar biasa. CSR disebut orang dimana-mana seolah ramuan mujarab yang mampu mengobati carut marut pengelolaan sumber daya alam di negeri ini.

CSR sengaja dibuat sukarela. Melakukan untung, tidakpun tak apa. Tak ada sangsi.

Perusahaan boleh suka-suka mengartikannya. Akibatnya, mulai urusan mendanai kegiatan penanaman pohon masal hingga baca puisi tingkat nasional bisa mereka sebut sebagai upaya pertanggung jawaban sosial perusahaan.

Dengan sukarela, mereka bisa menentukan kegiatan apapun untuk memberikan kesan baik dihadapan publik. Mereka tak perlu melakukan sesuatu yang mendesak dan dibutuhkan penduduk lokal ditempat usahanya. Perusahaan tambang misalnya, tak perlu mengurangi buangan limbah tailingnya, meskipun warga sekitar mengeluhkan gangguan kesehatan akibat limbah itu.

Kuncinya, pilih kegiatan yang baik, lalu buat agar orang banyak tahu. Dengan bantuan konsultan media ternama. Dan sim salabim! Perusahaan bisa mengklaim sebagai bertanggung jawab sosial dan citra baik pun diraih.

Saidi dan Abidin (2004) menemukan bahwa pelayanan sosial, pendidikan, penelitian, kesehatan dan bantuan bencana, menjadi pilihan favorit CSR di Indonesia. Lucunya, masalah yang ditimpakan industri ekstraktif terhadap penduduk lokal dan lingkungan, seolah sama sekali tak berhubungan dengan upaya CSR yang dipromosikan perusahaan. Di sektor pertambangan dan migas banyak contohnya.

Freeport merasa tak perlu berhenti membayar tentara untuk menjaga tambangnya, atau mengurangi pembuangan tailingnya yang membuat sekitar 110 km2 wilayah muara tercemar dan 20 - 40 kilometer bentang sungai Sungai Ajkwa rusak. Dia toh telah menyisakan 1% penghasilan kotornya untuk rakyat Papua. Freeport kemudian bisa mengklaim sebagai perusahaan yang bertanggung jawab.

Bupati Kutai Timur, Awang Faroek Ishak, minggu lalu menyatakan Kaltim Prima Coal, salah satu perusahaan keluarga Bakrie, sebagai perusahaan berkomitmen tinggi dalam memenuhi kewajibannya terhadap masyarakat, karena telah menyerahkan dana 5 juta dolar untuk program CSR.

Rahmat Witoelar, Menteri Lingkungan Hidup, awal bulan lalu menghadiri dan menyambut penanaman 5000 pohon untuk program CSR Kelompok Bakrie, tanpa secuilpun menyingung nasib ribuan pengungsi dan kerusakan lingkungan yang terus berlangsung di sekitar tambang migas Lapindo, milik kelompok Bakrie di Sidoarjo Jatim.


Tak apa juga, namanya sukarela. Bisa suka-suka dan serela-relanya.

Tapi sejak bulan lalu, para pengusaha bak cacing kepanasan. Khususnya pengusaha yang hidup dari ekstraksi sumber daya alam. Apa pasalnya? CSR diwajibkan melalui UU Perseroan Terbatas No 40 tahun 2007.

Pasal 74 Undang-undang tersebut mengatur kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Disebutkan juga di sana bahwa biaya tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perusahaan. Dan serentetan sangsi sudah disiapkan buat para perusahaan yang berani-berani membangkang.

Jelas para pengusaha tambang berang, bahkan mengancam membatalkan pasal tersebut melalui Mahkamah Konstitusi.

Sungguh ironis. Meskipun selalu mengaku tunduk pada peraturan negara dimana ia beroperasi, pada dasarnya perusahaan tak suka diregulasi atau diatur. Aturan akan makin membatasi mereka mengeruk untung sebesar-besarnya.

Di negara yang haus investasi, peraturan hukum biasanya lemah dan banyak terjadi mal praktek perusahaan, seperti Indonesia. Pada industri ekstraktif, yang terjadi bisa sebaliknya. Pengurus negara melemah, sementara kuasa korporasi menguat. Merekalah yang mengarahkan, mana yang harus di regulasi mana yang deregulasi. Mana yang harus diturunkan standar sosial dan lingkungannya, atau mana yang harus di liberalisasi duluan.


Mereka lebih suka CSR bersifat sukarela. Mengapa?

Ceritanya tak lepas dari salah urus pengelolaan sumber daya alam di negeri ini. Jika dicermati, konflik dan masalah akibat salah urus tersebut makin menguat dari waktu ke waktu. Salah urus ini bermula dari salah paradigma, diteruskan keluarnya regulasi yang lemah hingga prakteknya dilapang.

Sesat pikir dan lahirnya regulasi tersebut tentu tak lepas dari campur tangan korporasi dan pemerintahan dimana mereka berasal. Ingat-ingat bagaimana campur tangan perusahaan tambang terhadap lahirnya UU No 19 tahun 2004 tentang amandemen UU Kehutanan tahun 1999 yang memungkinkan 1 juta hutan lindung dibuka untuk pertambangan skala besar.

Hampir empat dekade, konflik tanah, kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, pemiskinan dan gangguan kesehatan dengan mudah di jumpai pada kawasan-kawasan eksploitasi sumber daya alam, khususnya pertambangan skala besar, dari ujung Sumatera hingga Papua, dan telah menuai protes dan ketidak puasan publik.

Kondisi diatas memerlukan tindakan mendesak untuk pembaruan agraria dan pengelolan sumber daya alam, termasuk meregulasi perusahaan. Sayangnya, pengurus negara yang korup dan haus investasi ini, malas dan tak berkehendak melakukan perubahan. Sebaliknya, dengan dukungan pemodal, regulasi-regulasi baru utuk melayani modal, tapi abai terhadap hak dasar warga negara, aspek sosial dan lingkungan, makin rajin dikeluarkan.

Lantas bagaimana dengan konflik dan ketidak puasan publik di banyak tempat? Jangan kuatir ada CSR, yang sukarela dilakukan perusahaan!

Dari sinilah CSR lahir, dipromosikan perusahaan dan pemerintah untuk menjawab ketidak puasan itu. Dengan sifatnya yang sukarela jangan pernah berharap apa-apa. Dia tak lebih dari greenwash generasi terbaru yang dilemparkan humas perusahaan ke hadapan publik. Tujuanya sederhana, membuat publik percaya bahwa mereka telah bertanggung jawab dan tak perlu diregulasi lebih ketat.

Dititik inipun, sebenarnya perusahan telah melakukan manipulasi konsep CSR dengan menyederhanakan pertanggungjawaban mereka sekedar aspek sosial - Sosial responsibility, seolah segalanya beres jika ganti rugi pada orang atau komunitas diselesaikan, tanpa perlu memikirkan fungsi lingkungan atau keberlanjutan layanan alamnya - ecological responsibility.

Syukurlah, Pasal 74 UU Perseroan Terbatas menyebut lengkap. Tak ada lagi sebutan CSR yang sukarela. Yang ada Pertanggungjawaban Sosial dan Lingkungan Perusahaan, dan wajib hukumnya. Dengan begitu harusnya tangggung jawab perusahaan menjadi jelas, terukur dan memiliki jaminan pendanaan sejak perusahaan masuk hingga mereka meninggalkan tambang atau kawasan eksploitasinya.

Tapi tentu pasal tersebut belum cukup, masih banyak yang harus dikerjakan. Diantaranya merumuskan definisi, cakupan dan implementasi Pertangungjawaban Sosial dan Lingkungan tersebut. Juga siapa lembaga yang akan mengawasinya serta apa sangsi jika tangung jawab diabaikan. Yang katanya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Tantangan berikutnya adalah proses transparansi dan partisipsi publik dalam penyusunan PP. Jika sebelumnya penyusunan UU di tingkat DPR RI masih bisa terbuka bagi keterlibatan publik. Bagaimana dengan proses pembuatan PP nanti? Jangan-jangan seperti biasa, UU-nya bagus, tapi hancur begitu jadi PP.

Yang penting lagi. Selama target pemerintah hanya mengeluarkan ijin tambang dan mengeruk bahan tambang sebanyak-banyaknya. Tak peduli tumpang tindih fungsi kawasan, tak peduli daya rusak tambang, tak peduli keselamatan dan produktivitas warga sekitarnya. Bisa dipastikan, pasal tersebut tak akan menjawab masalah utama salah urus sektor pertambangan ***

Penulis adalah Koordinator Nasional JATAM, tulisan ini di muat di Majalah Forum Keadilan pada Minggu kedua bulan September 2007.

Sumber :
http://www.jatam.org/content/view/140/21/
23 September 2007


Tidak ada komentar:

Posting Komentar